Sewaktu Sunan Ampel masih hidup, di Gresik ada pula seorang penganjur agama yang terkenal, namanya Raden Paku, disebut juga sebagai Prabu Satmata, atau Sultan Abdul Fakih, beliau adalah putera Maulana Ishak dari Blambangan (di Jawa Timur). Maulana Ishak dikatakan dari Blambangan, oleh karena beliau ditugaskan oleh Sunan Ampel untuk menyebarkan agama Islam di daerah Blambangan yang pada masa itu masih kuat memeluk agama Hindu dan Budha.
Berhubung ayahnya ke Pasai dan tidak kembali lagi ke tanah Jawa maka Raden Paku kemudian diambil sebagai putera angkat oleh salah seorang wanita kaya, Nyi Gede Maloka namanya. Kalau di babad tanah jawa, disebut Nyai Ageng Tandes atau Nyai Ageng saja. Sesudah beliau besar disekolahkannya ke Ampel untuk berguru kepada Raden Rahmat (Sunan Ampel). Di sana Raden Paku bertemu dengan Maulana Makdum Ibrahim, putera-putera Sunan Ampel yang kemudian bergelar Sunan Bonang.
Kemudian bersama-sama dengan Maulana Makdum Ibrahim, Raden Paku oleh Sunan Ampel di suruh pergi haji ke Tanah Suci, sampai memperdalam ilmunya. Tetapi mereka sebelum sampai di tanah suci singgah terlebihdahulu di Pasai (Aceh), untuk menuntut ilmu kepada para ulama disana. Yang imaksud ilmu di sini adalah ilmu ke Tuhanan menurut ajaran Tasawuf. Konon kabarnya memang banyak ulama-ulama keturunan India dan Persia yang membuka pengajian di pasai di waktu itu. Bahkan banyak pula ulama-ulama dari Malaka juga kadang-kadang datang bertanya tentang sesuatu masalah ke Pasai.
Sesudah kedua tunas muda itu selesai menuntut pelajaran di sana, merekapun kembalilah ke tanah Jawa. Raden Paku berhasil mendapat "Ilmu Laduni", sehingga gurunya di pasai memberinya nama "Ainul Yaqin". Raden Paku sekembalinya di tanah Jawa mengajarkan agama Islam menurut bakatnya. Raden paku atau Syekh Ainul Yaqin mengadakan tempat berkumpul yang boleh disebut pondok pesantrennya di Giri.
Murid-muridnya terdiri pada orang-orang kecil (rakyat jelata). Sungguh amat besar jasa Sunan Giri semasa hidupnya, karena beliaulah yang mengirimkan utusan (mission secree) keluar Jawa. Mereka terdiri dari pelajar, saudagar, nelayan. Mereka dikirim oleh Sunan Giri ke pulau Madura, Bawean dan Kangean, bahkan sampai ke Ternate dam Haruku di kepulauan Maluku.
Amat besar pengaruh Sunan Giri terhadap jalannya roda pemerintahan di kerajaan Islam Demak, sehingga sesuatu soal yang penting senantiasa menantikan sikap dan keputusan yang diambil oleh Sunan Giri. Oleh para wali lainnya, beliau dihormati serta disegani. Pada waktu dahulu Giri adalah menjadi sumber ilmu keagamaan, dan termasyhur diseluruh tanah Jawa dan sekelilingnya. Dari segala penjuru, baik dari kalangan atas maupun kalangan bawah banyak yang pergi ke Giri untuk berguru kepada Sunan Giri. Beliaulah kabarnya yang menciptakan gending Asmaradana dan Pucung.
Daeran penyiarannya sampai ke Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Madura, menurut setengah riwayat, Sunan Giri-lah yang menghukum sesat terhadap diri Syekh Siti Jenar, karena mengajarkan ilmu yang berbahaya pada rakyat. Sunan Giri adalah terhitung seorang ahli pendidik (pedagang) yang berjiwa demokratis. Beliau mendidik anak-anak dengan jalan membuat bermacam-macam permainan yang berjiwa agama. seperti misalnya : jelungan, jamuran, gendi gerit, jor, gula ganti, cublak-cublak suweng, ilir-ilir dan sebagainya.
Diantara permainan kanak-kanak hasil ciptaan/gubahannya adalah rupa "jitungan" atau "jelungan". Adapun caranya adalah begini : Anak-anak banyak, satu diantaranya menjadi "pemburu", lain-lainnya jadi "buruan" mereka ini akan 'selamat' atau 'bebas' dari terkaman 'pemburunya', apabila telah berpegangan pada 'jitungan', yaitu satu pohon, tiang atau tonggak yang telah ditentukan terlebih dahulu. Permainan dimaksudkan untuk mendidik pengertian tentang keselamatan hidup, yaitu : bahwa apabila sudah berpegangan kepada agama yang berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa sajalah, maka manusia (buruan) itu akan selamat dari terkaman iblis (pemburunya). Di samping itu diajarkannya pula nyanyian-nyanyian untuk kanak-kanak yang bersifat paedagogis serta berjiwaagama, Di antaranya adalah berupa 'tembung dolanan bocah' (lagu permainan anak-anak), yang berbunyi sebagai berikut : "Padang-padang bulan, ayo gage da dolanan, dolanane naning latar, ngalap padang, gilar-gilar, nundang bagog hangatikar", yang dalam bahasa indonesianya kira-kira begini : "Terang-terang bulan, marilah lekas bermain, bermain dihalaman, mengambil manfaat dari terang benderang, mengusir gelap yang lari terbirit-birit". Adapun maksud dari tembang tersebut di atas itu adalah : Agama Islam (bulan) telah datang memberi penerangan hidup, maka marilah segera orang menuntut penghidupan (dolanan, bermain) di bumi ini (latar, halaman) akan mengambil manfaat ilmu agama Islam (padang, gilar-gilar, terang benderang) itu, agar sesat kebodohan diri (begog, gelap) segera terusir. Disamping itu terkenal pula tembang buat kanak-kanak yang bernama "Ilir-ilir" yang isinya mengandung filsafat serte berjiwa agama. Bunyi selengkapnya adalah demikian. "Lir-ilir, lir ilir, tandure wing angilir, sing ijo royo-royo, tak sengguh kemanten anyar. cah angon, cah angon, penekno blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekno kanggo masuh dodotiro. dodotiro-dodotiro, kumitir bedah ing pinggir, dondomana jrumatana, kanggo sebo mengko sore, mumpung gede rembulane, mumpung jembar kalangane, ndak sorak hore."
Adapun maksudnya adalah demikian : sang bayi yang baru lahir di dalam dunia ini masih suci bersih, murni, sehingga ibarat seperti penganten baru, siapa saja ingin memandangnya, "bocah angon" (pengembala) itu diumpamakan santri, mualim, artinya orang yang menjalankan syariat agama. Sedangkan "blimbing" diibaratkan blimbing itu mempunyai/teridiri dari lima belahannya, maksudnya untuk menjalankan sembahyang lima waktu. Meskipun "lunyu-lunyu" (licin), tolong panjatkan juga, kendatipun sembahyang itu susah, namun kerjakanlah, buat membasuh "dodotira-dodotira, kumitir bedah ing pinggir" maksudnya kendatipun sholat itu susah, tetapi kerjakan guna membasuh hati dan jiwa kita yang kotor ini. "Dondomono, jrumatana, kanggo sebo mengko sore, dan surak-surak hore". Maksudnya " bahwa orang hidup di dalam dunia ini senantiasa condong kearah berbuat dosam segan mengerjakan yang baik dan benar serta utama, sehingga dengan menjalankan sholat itu diharapkan besuk dikelak kemudian dapat kita buat sebagai bekal kita dalam menghadap kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, bekal itu adalah beramal saleh.
Itulah diantara lain buah ciptaan sunan giri. Mengenai tembang (lagu) ilir-ilir ini ada pula yang berpendapat, bahwa itu adalah ciptaan sunan kalijaga. Akan tetapi mengingat bahwa diantara wali sanga, sunan giri yang terkenal sebagai seorang pendidik yang gemar menciptakan lagu-lagu kanak-kanak maka besar dugaan kita bahwa lagu tersebut adalah ciptaan beliau juga. Jika tidak, yang pasti adalah bahwa tembang tersebut adalah ciptaan pada jaman wali. Apakah benar ciptaan sunan kalijaga atau gubahan bersama dengan sunan giri, itu adalah soal secundair.
Sesudah beliau wafat, kemudian dimakamkan di atas bukit Giri (Gresik). Setelah Sunan Giri meninggal dunia, berturut-turut digantikan oleh Sunan Delem, Sunan Sedam Margi, Sunan Prapen. Tatkala Sunan Prapen pada tahun 1597 M, wafat beliau digantikan Sunan Kawis guna, kemudian setelah Sunan Guwa wafat diganti oleh Panembahan Agung. Pada tahun 1638 M Panembahan Agung Giri diganti oleh Panembahan Mas Witana Sideng Rana, beliau wafat pada tahun 1660 M. kemudian atas perintah Sunan Amangkurat I, Pangern Puspa Ira (Singonegoro) ditempatkan di Giri. Mulai saat sunan Amangkurat II memegang kendali pemerintahan, Giri maupun Gresik mengalami perubahan yang tidak sedikit. Akibat daripada serangan Amangkurat II yang dibantu oleh kompeni akhirnya pada tanggal 27 april 1680 jatuhlah kekuasaan Pengeran Giri ke tangan Amangkurat II. Semenjak itu Giri cahanya mulai pudar, hanya tinggal kenang-kenangan dalam sejarah kebangunan Islam di tanah Jawa.
0 komentar:
Posting Komentar